MENGANGKAT KASUS POLITIK AKTUAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Oleh: AGUNG BUDIANTO
Abstrak
Materi untuk pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) erat sekali hubungannya dengan
kajian dalam bidang politik. Sedangkan
kajian dalam bidang ilmu politik sangat dipengaruhi oleh perkembangan realitas politik di suatu negara baik yang masuk
dalam wilayah supra struktur politik
maupun yang masuk dalam infra struktur politik.
Pembelajaran
dan kajian PKN yang mengabaikan perkembangan dan dinamika politik akan kehilangan kontektulitas, kehilangan daya tarik, serta kurang
bermanfaat bagi peserta didik. Oleh
karena itu, pemahaman dan penguasaan pengampu Pendidikan Kewarganegaraan pada berbagai persoalan politik beserta dinamika dan perkembangannya
merupakan suatu keniscayaan.
Pendahuluan
“Kebesaran suatu negara tidak dinilai
dari tingginya pendapatan nasional maupun benteng-bentengnya yang kuat dan hebat, ataupun dari bangunan-bangunan
yang indah dan megah, melainkan hanya
dari orang-orangnya yang terdidik dan terlatih
baik, yang beradab dan berakhlak. Pada orang-orang inilah negara mendapatkan kekuatan yang sebenarnya” (Martin Luther
King).
“Negara yang baik bisa dipelihara jika dikelola oleh pemerintahan yang baik, dan pemerintah menjadi
baik jika berada
di tangan orang-orang terbaik” (Lee Hsien liong).
Pendidikan di Indonesia
diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat
dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan
modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan - atau nasionalisme - yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun
masa depan bersama
di bawah satu negara yang sama walaupun warga
masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik,
atau golongannya.
Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem pemerintahan otoriter
yang membungkam hak-hak
warga negara untuk menjalankan prinsip
demokrasi dalam kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal,
dimulai, diinternalisasi, dan diterapkan demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga
oleh warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya
dapat menikmati hak kebebasan individu,
tetapi juga harus memikul tanggung
jawab secara bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk
masa depan yang cerah. Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan
dan diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka pertama kali membahas dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Berkenaan dengan hal-hal yang
diuraikan di atas, pendidikan memiliki peranan
dan tanggung jawab yang sangat penting dalam
mempersiapkan warga negara yang memiliki
komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan
adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan
berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui
mata kuliah atau mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship).
Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan
mata kuliah yang memfokuskan
pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa,
usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia
yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang dilandasi
oleh Pancasila dan UUD
1945.
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai
wahana untuk membentuk
warga negara yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang setia
kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan
dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan memberikan kompetensi sebagai berikut:
1. Berfikir secara
kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Berkembang secara
positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
pada karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lain.
4. Berinteraksi dengan bangsa
lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung
dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi
(Pusat Kurikulum, 2003: 3).
Substansi Materi Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasar hasil studi di berbagai
negara, Print (1999: 12) berpendapat bahwa isi Pendidikan Kewarganegaraan yang prinsip
adalah:
1.
Hak dan tanggung
jawab warga negara.
2.
Pemerintahan dan lembaga-lembaga.
3.
Sejarah dan konstitusi.
4.
Identitas nasional.
5. Sistem hukum dan rule of law.
6.
Hak asasi manusia,
hak-hak politik, ekonomi dan sosial.
7.
Proses dan prinsip-prinsip demokrasi.
8.
Partisipasi aktif warga negara dalam wacana kewarganegaraan.
9.
Wawasan internasional.
10. Nilai-nilai dari kewarganegaraan yang demokratis.
Waterwoth (1998: 3) mengemukakan tentang butir-butir concept of citizenship dan
warga negara yang baik, yaitu:
1.
Menghargai warisan budaya
masyarakatnya.
2.
Menggunakan hak pilih.
3.
Menghormati hukum dan norma-norma masyarakat.
4.
Memahami berbagai proses
politik dan ekonomi.
5.
Menggunakan hak berbicara.
6.
Memberikan sumbangan
bagi kebaikan keluarga dan masyarakat.
7.
Peduli terhadap lingkungan lokalnya.
Sedangkan Abdul Azis Wahab (2000: 5) mengemukakan sepuluh pilar demokrasi Indonesia yang harus menjadi prinsip
utama pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu:
1.
Konstitusionalisme.
2.
Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
3.
Kewarganegaraan cerdas.
4.
Kedaulatan rakyat.
5.
Kekuasaan hukum.
6.
Hak asasi manusia.
7.
Pembagian kekuasaan.
8.
Sistem peradilan
yang bebas.
9.
Pemerintahan daerah.
10. Kesejahteraan sosial dan keadilan
sosial.
Berdasarkan uraian di atas diperoleh
gambaran tentang keragaman
luasnya cakupan materi dan penataan
Pendidikan Kewarganegaraan
dalam kurikulum. Hal ini bukanlah sesuatu yang
harus dianggap aneh, sebab kurikulum pada dasarnya adalah suatu pilihan. Dilihat dari sudut keilmuan,
standar materi mata pelajaan ini tidak sedemikian ketat, cukup fleksibel, bahkan mudah berubah.
Indonesia sendiri mempunyai pengalaman mengenai sering diubahnya isi materi mata kuliah ini, seiring dengan pergantian rezim sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari sekian
banyak mata kuliah/mata pelajaran, tidak ada yang perubahan
materinya sedinamis mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. (Muchson, 2003).
Pusat kurikulum Depdiknas
lewat konsep KBK Kewarganegaraan
di SD dan MI, SMP dan MTs, serta SMA
dan MA tahun 2003, mengajukan civic knowledge berupa aspek berbangsa
dan bernegara yang terdiri dari sub
aspek:
1. Persatuan bangsa;
2.
Norma, hukum dan peraturan;
3.
Hak asasi manusia;
4.
Kebutuhan hidup warga negara;
5.
Kekuasaan dan politik;
6.
Masyarakat demokratis;
7.
Pancasila dan konstitusi negara,
8.
Globalisasi (Cholisin, 2004:18).
Aspek-aspek dari pengetahuan kewarganegaraan di atas pada dasarnya merupakan pengetahuan yang
berkaitan dengan peran warga negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dari 8 aspek tersebut yang terkait dengan
pilar politik adalah
aspek
No. 5, Kekuasaan dan Politik, serta aspek No. 6, Masyarakat Demokratis, yang bila diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
Kekuasan dan Politik |
a. Pemerintahan daerah b. Pemerintahan pusat c. Kedaulatan rakyat
dan sistem politik d. Otonomi Daerah e. Budaya politik f. Sistem politik g. Sistem pemerintahan |
Masyarakat |
a.Tanggung jawab
dan toleransi |
demokratis |
b. Keputusan bersama |
|
c. Hubungan yang demokratis |
|
d. Hakikat
demokrasi |
|
e. Budaya
demokrasi |
|
f. Peranan
pers dalam masyarakat |
Beberapa Hal yang Perlu
Dipertimbangkan dalam Memilih
Kasus
Kasus Politik yang dijadikan contoh dalam pembelajaran PKN bidang politik
hendaknya memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Relevan dengan kompetensi yang diajarkan;
2. Aktual dan menarik
perhatian publik;
3. Mampu memotivasi
peserta didik untuk menggali informasi yang lebih
dalam;
4. Rujukan yang
digunakan untuk mengurai kasus harus aktual dan dan bisa
dipertanggungjawabkan;
5. Penanganan kasus mampu menawarkan alternatif solusi yang mencerahkan, bagi peserta didik, bila mungkin
juga bagi masyarakat;
6. Alternatif solusi diharapkan bersifat
obyektif, rasional, dan bermanfaat;
7. Analisis kasus dikaitkan dengan
filosofi Pancasila.
Beberapa Contoh Kasus Bidang Politik
1. Konflik Internal Partai
(Sumber: Litbang Kompas,
2002)
Konflik internl partai
bukan hal yang baru dalam sejarah partai
politik di Indonesia. Sudah sejak zaman pemerintahan Soekarno.
Begitu rezim Orde
Baru Runtuh, penyakit ini menular pada partai-
partai yang baru lahir. Partai-partai besar semacam Golkar,
PDI Perjuangan, dan PPP yang
sudah malang melintang pada rezim itu masih saja belum mampu membiakkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit
ini. Partai-partai yang pada kelahirannya menimbulkan harapan baru, seperti PKB dan PAN, tak terhindar
dari perseteruan internal. PBB dan
partai-partai kecil lainnya juga sama saja.
Yang paling menonjol adalah rebutan kedudukan atau kekuasaan di dalam partai. Tidak mengherankan bila
konflik-konflik itu berujung pada kepengurusan kembar. Penyebabnya antara lain konsolidasi partai yang rapuh dan perbedaan kepentingan antara kader yang
amat bergam.
a.
Konflik Internal Partai Golkar:
1) Setelah pemilu 1997,
terjadi perbedaan pendapat di antara dua kubu
mengenai calon wakil presiden yang akan mendampingi Presiden Soeharto (14 Januari 1998). Ketua umum DPP Golkar Harmokodan BJ. Habibie, akan tetapi
Harmoko mengundurkan diri dan Habibie yang menjadi wakil
presiden.
2) Setelah Soeharto
runtuh, konflik dalam tubuh partai semakin menguat.
Persaingan anatara kubu Akbar Tanjung dengan kubu Edi Sudradjat dalam pemilihan ketua umum. Terpilihnya Akbar Tanjung membuat Edi Sudradjat mendirikan
partai baru, Partai Keadilan dan Persatuan (15 Januari 1999).
3) Setelah beberapa
kadernya masuk dalam jajaran pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid konflik internal
partai masih sering terjadi. Antara kelompok yang tetap mendukung
pemerintah Presiden Wahid dan kelompok yng menginginkan presiden
mundur.
b.
Konflik Internal Partai PDI Perjuangan
1) Pada akhir
pemerintahan Soeharto, PDI terpecah menjadi dua kubu, Kubu Megawati
dan kubu Soerjadi.
2) Di kota Medan massa PDI kubu Megawati (9 Juli 1998) mengambil
alih kantor DPD PDI dari tangan PDI kubu Soerjadi. Menjelang Pemilu 1999. Kubu Megawati
akhirnya mendeklarasikan nama
baru PDI, yaitu PDI Perjuangan, yang akhirnya
meraih suara terbanyak dalam pemilu.
3) 27 Maret 2000 muncul dua kelompok
yang bersaing untuk memperebutkan
posisi ketua umum PDI Perjuangan. Kelompok pertama menginginkan Megawati tetap memimpin
partai,
sedangkan kelompok kedua menginginkan Megawati
lebih berkonsentrasi sebagai wakil presiden saja.
c.
Konflik Internal Partai PPP
1) Menjelang pemilu 1997 rebutan
kursi calon legislatif yang menjurus ke
saling pecat di berbagai daerah, terjadi di Riau dan Sulawesi Selatan.
2) Semasa Habibie
menjabat presiden banyak kader PPP yang keluar dan mendirikan partai baru, seperti
PKB, PAN, Partai Keadilan, dan PBB.
3) Januari 2002 PPP pecah, Zainuddin MZ mendirikan Partai
Persatuan Pembangunan Reformasi.
d.
Konflik Internal PKB
1) Perseteruan antara
Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil dan Alwi
Shihab mengenai sikap partai berhubungan dengan akan dilengserkannya Presiden Wahid, yang juga ketua Dewan Syuro PKB. Akhirnya Matori tetap hadir dalam
sidang istimewa MPR, padahal DPP
sudah memutuskan untuk memboikot sidang itu.
Akhirnya Matori dipecat dari ketua umum PKB.
2) Setelah Matori menjadi menteri,
ia menyatakan diri sebagai ketua
umum PKB yang sah (30
juli 2001).
3) Dalam muktamar luar
biasa di Yogyakarta digelar 20 Januari 2002, akhirnya
Alwi Shihab terpilih sebagai
ketua umum PKB.
e.
Konflik Internal PAN
Sebanyak 16 anggota
Pan, antara lain Faisal Basri dan Bara Hasibuan,
pada tanggal 21 Januari 2001 mundur dari partai karena merasa PAN tidak lagi sesuai dengan platform partai.
f.
Konflik Internal Partai Keadilan
1) Presiden PK
Nurmahmudi Ismail 3 Mei 1999 mundur dari PK karena hendak bekerja sepenuhnya sebagai pegawai negeri.
Namun Nurmahmudi menolak
bila dikatakan mundur karena
hendak bergabung dengan PKB.
2) Massa PK 10 November
2000 berunjuk rasa meminta pengembalian dana sebesar Rp 2,8 milyar yang disimpan
di Baitul Mal wat Tamwil.
2. DPR dan Fungsi Legislasi
(Sumber: Indonesia
dalam Krisis, Sisilia
Srisuwastuti)
Kebiasaan titip tanda tangan pertanda
hadir bukan monopoli
mahasiswa yang sedang malas, tetapi juga anggota
DPR. Lihatlah daftar hadir rapat paripurna pengesahan
UU Ketenaganukliran pada 26 Februari
1997. Tak kurang dari 317 baris nama terbubuh tanda tangan, namun
yang hadir secara fisik dalam rapat itu taklebih dari 75 anggota.
Begitu pula saat UU Tindak Pidana Pencucian
Uang disahkan tanggal
25 maret 2002, sebanyak 260 dari 309 anggota menyatakan kehadirannya hanya dengan
tinta. Tindak kriminal atau perbuatan
amoral telah berlangsung di gedung parlemen: pemalsuan tanda tangan atau berbohong.
Perilaku buruk ini sempat menyerap
perhatian publik. Tak mengherankan
bila DPR dicap tak pernah bisa optimal menyalurkan aspirasi rakyat. Jajak pendapat Kompas 10 juni 2002
mengungkapkan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja
DPR terus menguat.
Bila pada Agustus
2000 sekitar 52,5 persen dari 1569 responden
menyatakan tidak puas, maka pada Mei 2002 tingkat ketidakpuasan naik menjadi 81,0 persen dengan 830 responden.
Begitu kekuasaan Soeharto
berakhir, aktualisasi fungsi DPR bergeser. Bila pada masa Orde Baru lembaga
ini tak lebih dari tukang stempel pemerintah, kini DPR cenderung
berkonsentrasi pada fungsinya
sebagai pengawas kebijakan
pemerintah. Hal ini dipertontonkan kepada rakyat, melalui
siaran televisi dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Rapat paripurna pengambilan keputusan untuk membentuk Pansus Bulog I pada 5 september 2000, misalnya,
dijejali anggota yang antusias
maupun yang menentang.
Konsentrasi pada fungsi pengawasan ini mengendorkan fungsi lainnya. Salah satu adalah fungsi
legislasi, fungsi membuat UU. Fakta ini barangkali bisa menjelaskan. Sejak tahun 1966 hingga 2001 terdapat
493 undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR. Rata-rata 13 sampai 14 undang-undang per tahun. Itu masa lalu. Tahun
2001 ditargetkan penetapan 30 undang-undang dan menyusun 40 RUU. Nyatanya hanya 22 UU yang ditetapkan sepanjang tahun 2001. Dalam hal penyusunan RUU, hanya 9 RUU dari 58 buah prioritas yang akhirnya menjadi UU.
Indikasi fungsi legislasi yang belum optimal ini diperlihatkan pula oleh minimnya RUU inisiatif DPR. Dari
493 UU yang dihasilkan selama 35
tahun, hanya 8,1 persen yang merupakan inisiatif DPR. Selang waktu 1966-1972
merupakan masa yang menghasilkan usulan
terbanyak, tapi 20 RUU inisiatif akhirnya
kandas di tengah jalan. Hanya
tujuh usulan yang berhasil disahkan menjadi UU.
Fungsi legislasi untuk menciptakan UU yang benar-benar dibutukan rakyat banyak tampaknya jauh dari optimal. DPR hasil
lima kali pemilu, sejak tahun 1971 sampai 1992, adalah DPR vakum mutlak
dalam urusan ini. Tak satu pun usulan inisiatif dalam 25 tahun itu. Sepanjang itu pula hak inisiatif
hanya dikenal dalam buku-buku pelajaran
sekolah. Ia baru muncul lagi dalam tahun 1997-1999. Lima dari delapan RUU inisiatif disahkan menjadi UU. DPR hasil pemilu demokratis sejak tahun 1955, hingga tahun
2001 telah menghasilkan lima RUU inisiatif. Namun rupanya kepentingan politik sangat mendominasi usulan inisiatif DPR itu.
Tujuh dari sepuluh RUU usul inisiatif
DPR mengatur politik dan keamanan. Dua tentang ekonomi, keuangan, dan industri.
Hanya satu RUU yang menyangkut kesejahteraan rakyat.
Dari substansinya, tak sedikit undang-undang yang setelah disahkan
justru menimbulkan kontroversi hingga pelaksanaannya harus ditunda. UU Nomor 14 Tahun1992 tentang
Lalulintas dan Angkutan
Jalan dan UU Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih merupakan undang-undang yang menimbulkan polemik.
Kewenangan eksekutif mengusulkan RUU bisa jadi alasan mengapa RUU banyak datang dari pemerintah.
Namun, amandemen UUD 1945 yang
memberi porsi besar kepada dewan ternyata juga
bukan jaminan membaiknya kinerja
DPR dalam fungsi legislasi.
3. DPR di Mata Publik, Masih Mengedepankan Kepentingan Partai dan Pribadi
(Sumber: Indonesia
Dalam Krisis, Nurul Fatchiati)
Sungguh besar harapan rakyat
terhadap DPR hasil Pemilihan Umum 1999. Di samping
terpilih melalui pemilu yang dianggap
paling demokratis sejak rezim Orde Baru berkuasa, anggota DPR kali ini mempunyai latar belakang kualitas yang
dipandang lebih baik dari pada yang
pernah ada sebelumnya. Dari segi pendidikan formal 83 % adalah lulusan perguruan tinggi. Proporsi mereka yang berusia
muda berumur di bawah 50 tahun, jga
cukup besar mencapai 43 % dari seluruh anggota.
Dengan kondisi demikian, wajar jika rakyat menggantungkan harapan
besar agar DPR lebih banyak berperan dan berpihak kepada rakyat. Paling tidak, dengan fungsinya
membuat undang-undang, mengawasi
pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah, serta menampung dan menindaklanjuti berbagai
aspirasi dan
pengaduan
masyarakat, seyogyanya lembaga ini lebih mengutamakan kepentingan rakyat.
Menjelang tiga tahun masa jabatannya pada 1 oktober
2002, DPR secara akumulatif
telah menetapkan sekurangnya 60 UU, tetapi jumlah
tersebut masih jauh dari target. Mengacu pada Repeta 2001, misalnya, DPR hanya mampu memproduksi 22
UU, atau hanya 25 % dari target
sebanyak 70 UU di tahun itu. DPR juga
masih miskin inisiatif dalam
menjalankan fungsi legislatif, sebab hanya sedikit RUU yang lahir dari tangan lembaga ini. Padahal mengacu pada
Perubahan Pertama UUD 1945 Pasal 20,
kekuasaan membuat UU sudah bergeser dari pemerintah kepada DPR.
Tugas yang termasuk cukup berhasil DPR periode ini tampaknya adalah mengawasi jalannya roda
pemerintahan. Pada awal tugasnya, mereka aktif menyoroti sepak terjang pemerintah dan taksegan menggunakan hak-haknya, terutama hak
interpelasi, hak angket, dan hak pernyataan pendapat. Sepanjang pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, DPR menggunakan hak interpelasi sebanyak
dua kali: terhadap
pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial,
serta pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi
dari jabatan menteri.
Hak lain yang pernah difungsikan adalah hak angket dalam kasus pengucuran dana Yanatera Bulog
sebesar Rp 35 milyar dan dana
pemberian Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah sebesar 2 juta dollar AS. DPR juga menggunakan hak pernyataan pendapat
sebanyak dua kali: atas jawaban
Presiden Abdurrahman Wahid terhadap
pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi yang dinilai tidak memuaskan, dan ketika Presiden Abdurrahman Wahid dianggap telah melanggar Pasal 35 UUD 1945, empat
Ketetapan MPR, dan dua UU.
DPR terhitung rajin membentuk berbagai panitia khusus di luar panitia kerja. Umumnya panitia yang
dibentuk berhubungan dengan pengungkapan
kasus tertentu, seperti pengucuran BLBI dan penyalura dana Bulog, ataupun yang berkaitan dengan rekrutmen pada lembaga negara tertentu, seperti rekrutmen hakim
agung dan anggota KPKPN. Namun,
serangkaian prestasi yang telah dicapai DPR belum mampu membuat kinerja lembaga ini mendapat pujian berarti, setidaknya
di mata sebagian publik. Hasil jajak pendapat
berseri menunjukkan semakin
lama persentase ketidakpuasan terhadap kinerja DPR berangsur meningkat dari waktu ke waktu.
Sehubungan dengan fungsi legislatif DPR, misalnya, lebih dari separuh
responden menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kerja
anggota dewan dalam membuat undang-undang. Demikian pula dalam mengontrol kerja pemerintah. Meskipun telah terjadi pergantian presiden dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati Soekarno Putri, persentase ketidakpuasan responden dari waktu ke waktu kian besar. DPR dinilai semakin tidak berdaya mengawasi jalannya pemerintahan. Sebenarnya rasa ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kinerja DPR sudah dapat diprediksi sebelumnya. Meskipun DPR periode 1999-2004 mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, lembaga ini takpernah sepi dari berbagai persoalan internal. Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme serta perpecahan internal partai-partai yang ada di dalamnya turut pula mewarnai kinerja para wakil rakyat. Puncaknya, Ketua DPR Akbar Tandjung
Takheran bila kinerja DPR selama ini masih belum memuaskan publik. Sepak terjang para wakil rakyat
ini diyakini oleh mayoritas responden lebih menitikberatkan pada kepentingan partai masing- masing dan
pribadi daripada kepentingan rakyat banyak.
4. Konflik Eksekutif dan Legislatif
(Sumber: Litbang
Kompas, 2002)
Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak korup sejadi-
jadinya. Komentar Lord Acton (1834-1902), sejarawan Inggris dalam sebuah surat, ini memberi peringatan terhadap kekuasaan yang mengatasnamakan
negara. Makanya ia harus dikontrol supaya efektif dan efisien. Tentu hal itu demi kepentingan orang banyak. Salah
satu alat kontrolnya adalah
aturan main yang transparan.
Pemerintah atau eksekutif membuat rencana dan menjalankan pemerintahan. Parlemen atau legislatif mengawasi jalannya pemerintahan, baik dengan memantau
langsung maupun dengan membuat rambu-rambu lewat produk perundang-undangan. Dalam praktiknya,
kedua lembaga ini kerap tergoda untuk gagah-gagahan, saling mengecilkan peran satu sama lain, dan lebih dahsyat
lagi, memicu konflik
antarlembaga. Akibatnya, rakyat banyak yang seharusnya dilayani menjadi korban.
a. Konflik antara
DPR dan Presiden Abdurrahman Wahid
1) Kasus pemberhentian
Kapolri Jenderal Polisi Roesdihardjo dan melantik Jenderal
Pol. Bimantoro sebagai
pelaksana harian Kapolri. DPR menganggap presiden
melangkahi DPR karena tidak pernah meminta persetujuan.
2) Usaha pemberhentian gubernur BI Syahril
Sabirin. Presiden mengusulkan Anwar Nasution sebagai
penggantinya. DPR dalam rapatnya 6 Juni 2000 memutuskan
bahwa Syahril Sabirin tetap dipercaya
menjalankan tugasnya sebagai
gubernur BI sampai pengadilan memutuskan kesalahannya secara yuridis.
3) Presiden mengusulkan pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Dinyatakan Terlarang, serta larangan
kegiatan untuk menyebarkan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Beberapa anggota DPR dari partai Islam menolak keras usulan
tersebut. Tanggal 29 Mei 2000, semua fraksi MPR, termasuk FKB, menolak usulan pencabutan Tap MPRS tersebut.
4) Presiden mengusulkan
calon Ketua MA, yakni Bagir Manan, dan Muladi (1 Januari 2001) mengundurkan diri. Presiden meminta
DPR untuk mengajukan calon di luar keduanya. Komisi II DPR tetap pada pendiriannya
menetapkan muladi dan Bagir Manan sebagai calon Ketua MA. Akhirnya presiden
mengalah pada 5 Mei 2001 memilih Bagir Manan sebagai Ketua MA.
5) Tanggal 24 April
2000, presiden memberhentikan Jusuf Kalla dan
Laksamana Sukardi dari jabatan menteri. Tanggal 29 Juni 2000 DPR menyetujui hak interpelasi berkaitan
dengan pemecatan tersebut.
Kepercayaan DPR kepada
presiden semakin runtuh.
Sebanyak 151 anggota DPR mengajukan usul penggunaan hak interpelasi menganggap presiden sungguh- sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh UUD dan ketetapan MPR.
5. Perseteruan MA dan KY
(Tajuk Rencana, Kompas, 29 Juni 2006)
Saling kritik dan adu argumen di antara dua lembaga negara merupakan hal yang wajar, apalagi dalam
negara demokrasi. Namun, syaratnya
harus ada perbaikan. Perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) di depan Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa 27 Juni 2006, kedua lembaga itu saling melancarkan kritik dan argumentasi saat persidangan
uji materi UU KY. Terasa sekali
adanya perbedaan yang tajam di antara kedua lembaga tinggi negara itu. Bahkan, perbedaan itu mengarah pada rasa superioritas satu lembaga atas lembaga yang lainnya sehingga kedua lembaga
itu bukan menjadi lembaga yang saling menopang,
tetapi justru sebaliknya, saling mencurigai.
Terus terang kita sangat menyayangkan hal itu sampai terjadi. Karena ketika kita bersepakat membangun
KY, lembaga itu dimaksudkan untuk mengawasi kekuasaan
kehakiman agar tidak menjadi
lembaga yang tidak bisa disentuh (untouchable),
lebih-lebih setelah kekuasaan itu
berada dalam satu atap, yakni di bawah MA. KY
diharapkan bisa menjadi
lembaga independen yang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan yang lebih
penting lagi menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai sebuah lembaga
baru, wajar apabila
KY mengalami kegamangan dalam bekerja. Namun keadaan
kemudian menjadi terasa lebih rumit
ketika muncul resistensi dari MA yang keberatan untuk diawasi.
Di sinilah sebenarnya inti persoalan
yang sedang kita hadapi. KY
dianggap melampaui wewenang yang dimiliki, sebaliknya MA dianggap terlalu menutup
diri. Ketika kedua lembaga tidak mau mengakui kelemahan dan sebaliknya justru
menonjol kewenangannya, maka yang
terjadi adalah perebutan kewenangan. Karena kita baru dalam tahapan awal dalam membangun demokrasi, kita berpendapat bahwa tidaklah mungkin demokrasi bisa
dibangun apabila yang satu tak
menunjang yang lain. Dalam membangun
demokrasi tidak bisa ada lembaga yang
merasa lebih penting dan harus menonjol, bahkan berkembang lebih maju dibandingkan dengan lainnya. Semua harus berkembang dengan tahapan yang sama agar sampai pada tujuan bersama,
yakni bagaimana dengan sistem demokrasi
ini kita bisa memperbaiki perikehidupan bangsa.
Bahkan sekarang ini tidak cukup lagi pilar demokrasi, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang tumbuh dan maju secara bersamaan,
tetapi juga hsrus ditunjang oleh pilar-pilar lainnya, yakni pilar masyarakat madani (civil society) dan pelaku dunia usaha. Sebagai proses pembelajaran, saling kritik
dan adu argumentasi tentu tidak ada
salahnya. Yang terpenting bagaimana
kedua lembaga itu kemudian mau saling menerima
masukan dan bersama-sama memperbaiki sistem
hukum di negara kita tercinta
ini.
6. MA-MK-KY, KEKABURAN KONSTITUSI
(Mohammad Fajrul Falaakh, Kompas, 11 Juli 2006)
Tiga lembaga negara terlibat sengketa
konstitusi. Sengketa dipicu pendapat sejumlah hakim agung bahwa
ada wewenang Komisi Yudisial yang bertentangan dengan konstitusi. Sumber sengketa konstitusional antara MA-MK dengan KY
adalah produk DPR dan Presiden, kekaburan hasil amandemen konstitusi oleh MPR, maupun
hubungan antara kedua produk.
Masalah ini dapat diselesaikan melalui jalan politik: kesepahaman MA-MK
dan KY, revisi legislasi, atau amandemen konstitusi.
Kepentingan MA
dan MK
Menurut UUD 1945, KY “memiliki
wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim”. UU KY merumuskan,
kata hakim mencakup hakim agung dan
hakim konstitusi (MK). UU KY tidak menambah atau
mengurangi makna kata hakim karena sekadar memerincinya. Sebanyak 31 hakim MA mempersoalkan kaitan yuridis dan logis antara legislasi dan konstitusi. Penalaran
mereka dikemas untuk menolak
pengawasan KY: pengertian kata “hakim” adalah hakim pada umumnya dan hakim karier, calon hakim agung, tetpi tidak
mencakup hakim agung. Karena itu
tindakan KY mengawasi hakim agung, dan ketentuan
UU KY 2004 yang terkait, harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Penalaran
selanjutnya, pengertian
“hakim” tidak mencakup hakim konstitusi.
Jika pendapat itu benar, tidak ada lembaga
negara yang mengawasi hakim agung dan hakim
konstitusi. Pendapat ini menuntut MA
dan MK agar menggagas amandemen konstitusi tentang judicial impeachment process yang
melibatkan KY dan lembaga perwakilan rakyat,
seperti pemberhentian presiden dan wakil presiden di tengah masa jabatan. Sebenarnya pilihan MA dan MK
jelas, mendiskriminasi akuntabilitas
atau mengutamakan independensi dengan akuntabilitas. Melalui pengujian UU KY, MK menjadi medan sengketa sekaligus pihak yang berkepentingan. Pihak MA mencoba
bersekutu dengan MK, terutama tiga hakim konstitusi yang berasal dari MA, untuk
membebaskan diri dari pengawasan KY. MK menguji UU KY dalam pusaran
kepentingan sendiri. KY pun dipanggil
bersidang karena hukum acara MK memungkinkan, meski KY
belum terbentuk saat UU KY
diundangkan (Agustus 2004). Praktis MA-MK terlibat sengketa kewenangan antar lembaga negara dengan KY,
yang dinilai bahwa pelaksanaan wewenangnya telah mengganggu independensi MA (Kompas, 28/6/2006).
Independensi kekuasaan kehakiman
mengharuskan aspek “teknik
yudisial” ada dalam kompetensi internal
pengadilan, bahkan di tangan hakim pemutus perkara. Padahal
wewenang KY mencakup disciplinary judicial procedure,
misalnya menjaga dan menegakkan perilaku
hakim. Pelaksanaan wewenang ini dapat mengarah penilaian tentang diskrepansi dalam penjatuhan pidana,
misalnya putusan
disertai atau tanpa
kalimat “segera masuk penjara”. Ini menurut KY
untuk menilai judicial misconduct, seperti bersikap parsial
dalam menangani perkara.
Rekaman persidangan, jika ada, dan berita acara sidang dapat diperiksa untuk menengarai perilaku hakim. Memang, persinggungan tak mudah dihindari.
Menurut Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, MK menjadi tempat mengadili sengketa kewenangan
konstitusional antar lembaga negara; bukan MPR. Namun, UU MK 2003 melarang MA menjadi pihak
dalam sengketa jenis ini (Pasal 65). UU MK mereduksi kompetensi konstitusional MK karena untuk menjaga
independensi MA dalam
memutus perkara. KY berpeluang menepis
rintangan ini guna menggugat MA agar memperlancar pelaksanaan wewenang konstitusional KY. Bukankah MA dan MK tak tergugah
untuk membatalkan pertentangan
Pasal 65 UU MK dengan konstitusi? Pihak MA
berpendapat, konstitusi tak menginginkan pengawasan atas hakim agung
(dan hakim MK) oleh KY.
Hubungan konstitusi-legislasi
Amandemen konstitusi menentukan satu wewenang eksplisit
untuk KY. Selain berwenang mengusulkan calon hakim agung (wewenang
eksplisit), Pasal 24B Ayat (1) UUD
1945 menentukan, KY “berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung” dan “mempunya
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Wewenang kedua bersifat implisit dan membutuhkan
pendefinisian, atau bahkan kabur,
namun tujuan pelaksanaan wewenang KY telah dirumuskan. Tujuannya “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”,
tetapi cara mencapinya tidak disebutkan.
Ternyata UU KY membaliknya menjadi cara (Pasal 13 huruf b) bahwa KY “berwenang menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilaku hakim”. Kekaburan hubungan logis- yuridis
ini menuntut revisi
legislasi dan atau amandemen konstitusi.
Konstitusi dan demokrasi
tak menginginkan negara menjadi monster kekuasaan, besar atau kecil.
Paradigma pemisahan kekuasaan, termasuk independensi kekuasaan kehakiman, tak lagi ditafsirkan secara atomistik. Ia dibangun bersama prinsip checks and balances, bukan pengaplingan bergaya hak milik. Ini
soal pelik. Setelah lama terkungkung di bawah rezim otoriter, kekuasaan
kehakiman di Indonesia mencoba memerdekakan diri dari
pemerintah. Administrasi peradilan di bawah satu atap, masing-masing untuk MA dan MK, mungkin dinilai
belum cukup. Tetapi
melampaui batas-batas
independensi,
seperti akuntabilitas profesional dan institusional, akan menjerumuskan hakim ke tirani profesi. Pengadilan dan peradilan memang kompetansi hakim, tetapi keadilan
adalah domain semua orang.
7. Kembali ke UUD 1945 Antidemokrasi
(Adnan Buyung
Nasution, Kompas, 10 Juli 2006)
Sikap yang menuntut kembali
ke UUD 1945 yang “asli” atau yang
murni dan “konsekuen” yang biasa disebut “paham integralistik versi Soepomo”, ibarat memutar jarum jam
sejarah ke belakang, ke zaman
Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) atau Demokrasi Pancasila (Orde Baru) yang anti demokrasi. Banyak hasil penelitian ilmiah menunjukkan,
UUD 1945 memiliki kelemahan atau cacat konseptual bagi pegangan berbangsa
dan bernegara. Hasil penelitian Adnan Buyung Nasution
yang dituangkan dalam disertasi di Universitas Utrecht, Belanda, juga dapat dilihat dari
para ilmuwan FH UI, yaitu Dr. Benny
K. Harman, Dr. Margarito Kamis, Dr. Aidul Fitri, dan yang dalam
proses penulisan oleh sdr. Aulia Rahman, SH.
Kelemahan konseptual
Adanya pro dan kontra amandemen
UUD 1945 dilihat
dari perspektif
konstitusionalisme adalah kerena belum jelasnya
konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional. Saya berbeda pendapat
dengan kelompok yang menolak amandemen
UUD 1945 yang menggunakan alasan:
Pertama, telah menghilangkan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Kedua, mengubah sistem MPR menjadi bicameral, yang terdiri dari DPR
dan DPD yang dipilih lewat pemilihan langsung
sehingga dianggap mengarah
pada federalisme dan menghilangkan eksistensi utusan golongan dan utusan daerah.
Ketiga, hilangnya eksistensi
MPR dianggap sebagai upaya mengubah sila keempat
Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaanh dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Kelemahan mendasar paham integralistik versi Prof. Soepomo justru pada eksistensi institusi MPR ini
yang dikatakan merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia dan karena itu memegang dan menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat, sehingga memiliki
kekuasaan tertinggi. Ketika MPR terbentuk, rakyat taklagi memiliki kedaulatan sebab telah habis diserahkan
kepada MPR dalam bentuk pemberian
suara pada pemilu. Dengan dipilihnya presiden oleh MPR, kedaulatan rakyat habis
dipegang dan dijalankan oleh presiden.
Konsekuensinya presiden
memiliki kewenangan yang luas dan takterbatas.
Selain kelemahan konseptual itu, UUD 1945 juga memiliki
kelemahan mendasar lain, yaitu dalam konstruksi hukumnya
tidak mengindahkan pembatasan kekuasaan dengan pembagian
ketiga cabang kekuasaan
berdasarkan teori Montesquieu (eksekutif, legislatif,
dan yudikatif) dan juga tidak cukup memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Kondisi ini melahirkan kekuasaan absolut di tangan presiden, tanpa ada checks and balances dari cabang kekuasaan
lainnya, sehingga menimbulkan banyak peluang bagi terjadinya abuse of power
dan penindasan hak asasi
manusia.
Sejarah ketatanegaraan
Sebenarnya, saat founding fathers
menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof. Soepomo pada sidang PPKI 18
Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat sementara atau istilah Bung Karno “undang-undang
dasar kilat”. Mereka semua committed jika kelak keadaan
mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan
pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan structural telah
menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak
belakang secara konseptual. Dalam periode revolusi,
hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus
1945-sampai keluar maklumat X
tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan kita menerapkan UUD 1945 yang “asli” yang kekuasaan sepenuhnya di tangan presiden. Maklumat Wakil Presiden No. X
mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari Presidesial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 lagi-lagi
diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk
Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitif. Sebelum
tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Bukan
disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock dalam menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran
sejarah versi pemerintah, tetapi
karena ada
kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan
rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi
Pancasila. Dalam masa pemerintahan
transisi baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati sebelum
Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya
UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan
negara bisa melakukan berbagai
distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi
dan sistem pemerintahan.
Kita pantas khawatir, jangan-jangan dewasa ini kita menghadapi pengulangan sejarah, adanya sisa-sisa
kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya “Demokrasi Terpimpin”. Dulu mereka berhasil menjegal Majelis
Konstituante dengan memakai ”pedang” Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto
yang menghendaki kembalinya “Demokrasi Pancasila” yang dengan landasan UUD 1945 yang “murni dan
konsekuen” berhasil berkuasa selama
32 tahun. Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter
dan totaliter yang pernah
dinikmati di masa lampau dan merasa “kehilangan” atau tak bisa eksis lagi untuk membangun
kekuatan politik dalam konteks UUD 1945
hasil amandemen.
Mengandung kelemahan
UUD 1945 hasil amandemen telah memberikan tatanan
kenegaraan yang lebih baik meski ada beberapa kelemahan. Kemajuan yang telah dicapai telah memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia,
memberikan batasan terhadap kekuasaan negara, pemilihan presiden langsung oleh rakyat, pembentukan Mahkamah Agung yang mandiri
terlepas dari Departemen Kehakiman, pembentukan Mahkamah
konstitusi, Komisi yudisial, dan lain-lain.
Beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, yaitu: Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep
atau desain ketatanegaraan yang jelas
tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui
serangkaian amandemen itu. Kedua,
menyangkut masalah teknik,
yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal
drafting dalam merumuskan dan
menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika
yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal
hasil amandemen yang tumpang tindih,
kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan
tersebut tidak berarti
kita harus kembali
kepada UUD 1945. Komisi konstitusi perlu dibentuk
kembali guna merancang draf komprehensif
amandemen UUD baru dengan struktur dan sistematika yang lebih baik, yang tegas dan jelas
mengacu kepada konsep
negara.
Demokrasi Konstitusional, seperti diintroduksi Hatta dan Yamin, yaitu
yang meletakkan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan, menegakkan supremasi
hukum, pembagian kekuasaan
yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif (trias politika), pertanggung- jawaban pemerintahan pada rakyat (public accountability), dan dihormatinya
hak asasi manusia. Konsep ini merujuk pada cirri-ciri yang bisa ditetapkan secara eksplisit atau bisa dianggap
bagian inti dari nilai konstitusional sebagai cita-cita yang selalu merupakan
variable achievement. Demokratisasi
di Indonesia harus berlangsung pada dua dataran sekaligus, yaitu dataran konseptual dan dataran praksis
agar tidak tambal sulam.
8. UU Kewarganegaraan (Ketika Paradigma Berubah)
(Hamid Awaludin, Kompas, 25 Juli 2006)
Sebuah kepastian telah muncul. Garis demarkasi antara “kami” dan “mereka” telah dikubur. Kini hanya ada sebuah perahu kebersamaan,
bernama Indonesia. Itulah UU Kewarganegaraan yang baru, menggantikan UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958. Para wakil rakyat bersama pemerintah
sepakat, diskriminasi etnis dan jender yang diteguhkan UU lama harus menjadi masa silam bangsa.
Paradigma baru
UU Kewarganegaraan yang baru tidak sekadar mengatur siapa dan bagaimana cara menjadi warga negara dan kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai
karya monumental yang mengubah paradigma
dan perilaku. Konsep bangsa Indonesia
asli dijelaskan sebagai orang Indonesia yang menjadi warga
negara Indonesia sejak kelahirannya
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Konsep itu diilhami
paradigma, bahwa status kewarganegaraan
seseorang ditentukan status yuridis, bukan etnis dan ras. Dengan demikian, perdebatan yang diskriminatif dan
konfliktif tentang asli dan tidak
asli sudak ditutup. Tak ada lagi pemojokan atas etnis tertentu di negeri ini. Semua etnis dan komunitas, secara
yuridis, memiliki tanah yang sama.
Dengan UU ini, takada lagi anak-anak yang harus terusir dari tumpah
darahnya hanya karena
status yuridis. UU ini menegaskan,
anak yang lahir
dari ibu orang Indonesia dan ayah orang asing tidak otomatis mengikuti warga negara ayahnya.
Bahkan pada saat bersamaan,
anak boleh menjadi warga negara Indonesia dan warga negara ayahnya hingga usia 18 tahun. Setelah itu, sang anak
boleh menentukan kewarganegaraan yang dipilih. Anak-anak
Indonesia hasil perkawinan
ayah dan ibu warga negara Indonesia tetapi lahir di negara-negara yang menganut prinsip ius soli (menjadi warga negara karena
kelahiran) seperti AS, juga diakomodasi UU ini. Anak-anak Indonesia bisa menjadi warga negara di
mana ia lahir sekaligus warga negara Indonesia pada saat bersamaan
hingga mereka mencapai
usia
18 tahun untuk menentukan pilihan. Dalam perspektif ini, kita menganut
prinsip kewarganegaraan ganda terbatas.
Nasib anak-anak
Dari sini terlihat, para
wakil rakyat dan pemerintah berpihak pada anak-anak bangsa yang lahir hasil dari perkawinan campuran atau
lahir di negara-negara yang menganut prinsip kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran, seperti
AS. Pembuat UU memahami betapa getirnya
kehidupan anak-anak yang diombang-ambingkan status kewarganegaraan. Kasus-kasus memilukan sering
menyentak kemanusiaan kita. Banyak
anak harus berpisah dengan ibunya dan terusir dari Indonesia karena kesewenangan hukum kita. Berapa banyak anak hasil kawin campur (berayah
orang asing) terkena
implikasi negatif saat orang tuanya bercerai, mengharuskan anak-anak ikut
ayahnya ke negeri asal.
Hal lain, perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing tidak otomatis ikut kewarganegaraan suami
seperti UU sebelumnya. Ia bisa
tetap menjadi warga negara Indonesia. Bahkan ia bisa menjadi sponsor
suaminya untuk memiliki
status permanent residence atau
menjadi warga negara Indonesia. Bagi saudara-saudara kita yang karena alasan tertentu menjadi warga
negara asing dan ingin kembali menjadi
warga negara Indonesia, pintu terbuka lebar. Apalagi jika mereka menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya karena terpaksa.
Spektakuler
Ada terobosan spektakuler. Orang asing yang berjasa dan mengharumkan
nama bangsa dan negara dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa proses naturalisasi. Kategori jasa bisa berupa
hasil pikiran, karya seni, atau
perannya pada olahraga. Dengan ini kita tak akan pernah lagi mendengar
keluhan seorang Hendrawan
yang bejasa
mengangkat nama
bangsa lewat Thomas Cup atau menjadi juara dunia bulu tangkis, tetapi merana jika berhadapan dengan aturan yang tertutup
dan tidak fair. Kita perlu menyadari sebagai bangsa besar dan terbuka. Konsekuensinya, kita harus
terbuka memberi penghargaan bagi
siapa saja yang berjasa dan berbuat baik bagi bangsa dan negara. Sebagai bangsa kita tidak ingin terbelah
garis etnis dan ras. Kita tak ingin tercabik
karena nihilnya penghargaan jender. Mimpi buruk tentang ini semua
sudah berlalu.
Penutup
Materi untuk pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan erat sekali
hubungannya dengan kajian dalam bidang politik. Sedangkan kajian dalam bidang ilmu politik
sangat dipengaruhi oleh perkembangan
realitas politik di suatu negara baik yang masuk dalam wilayah supra struktur politik
maupun yang masuk infra struktur politik. Pembelajaran dan kajian PKN yang mengabaikan perkembangan dan dinamika politik
akan kehilangan kontektulitas, kehilangan daya tarik, serta kurang bermanfaat bagi peserta didik.
Oleh karena itu, pemahaman dan penguasaan pengampu Pendidikan Kewarganegaraan pada berbagai persoalan
politik beserta dinamika dan perkembangannya adalah merupakan keniscayaan.
Daftar Pustaka
Branson, Margaret
S., dkk. (1999).
Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta: Kerjasama LKIS dan Asia Foundation.
Center
for Civic Education. (1994). National
Standars for Civic and Government. Calabasas USA..
Cholisin. (2004).
“Konsolidasi Demokrasi Melalui
Pengembangan Karakter
Kewarganegaraan”. Jurnal Civics Vol.
1, No.1, 2004. PPKN FIS UNY.
Hamdan
Mansoer. (2003). Strategi Pembinaan MPK
di Perguruan Tinggi. Dirjen.
Dikti, Depdiknas, Bagian Proyek Pendidikan Tenaga Akademik 2003.
Nurul Fatchiati. (2002). DPR di Mata Publik, (di Buku Indonesia
dalam Krisis), Penerbit
Kompas, Jakarta.
Print,
Murray et al. (1999). Civic Education for
Civil Society. London: Asian Academic
Press.
Pusat
Kurikulum Balitbang Depdiknas. (2002). Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan
Kewarganegaraan. Puskur. Balitbang. Depdiknas. Jakarta.
Sisilia
Srisuwastuti. (2002). DPR dan
Fungsi Legislasi (di Indonesia dalam Krisis).
Penerbit Kompas, Jakarta.
Wahab,
Abdul Azis. (2000). “New Paradigm and
Curriculum Design forNew Indonesian
Civic Education”. Paper, The
International Seminar. March 29, 2000, at Bandung.
Waterworth,
Peter. (1998). “Trends in Social Studies Education and Citizenship Education.” Paper. Faculty of Education, Deakin University, Australia.
Biodata Penulis
Agung Budianto, S.Pd.., lahir di Lamongan tanggal 30 Nopember 1988. Pada Tahun 2007-2012 tercatat sebagai mahasiswa di STKIP PGRI Lamongan dengan Jurusan atau Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. selesai lulus dari Perguruan tinggi, kemudian berkarir di SMKS Sunan Ampel Menganti Hingga Sekarang.
Posting Komentar